Narkoba bisa dicegah dengan mendalami ilmu kesehatan pencegahan. Narkoba adalah agent (virus DHF), manusia adalah host, penyodor adalah vektor (nyamuk). Pencegahan berusaha memutuskan mata rantai ketiganya. Narkoba dibasmi, manusia didetox, dikebalkan, penyodor disemprot mati. Upaya untuk memutuskan mata rantai itu tidak mudah. Mafia narkoba mempunyai jaringan yang tidak gampang dibasmi oleh polisi. Modus operandinya beraneka ragam. Sampai2 penyelundup disuruh menelan kondom yang berisi narkoba agar tidak tertangkap di Bandara. Meskipun penyandu tahu di mana membeli narkoba, umumnya mereka buta siapa identitas yang menjual barang haram itu. Upaya lainnya masih bisa dilakukan, misalnya bagaimana mengebalkan manusia terhadap narkoba. Istilahnya resilence (mental seperti karet). Dulu sasaran narkoba adalah anak sekolah, peer group (remaja ingin mencoba, krisis identitas), guru sekolah (pengawas terstruktur), orang tua murid (pendidik luar sekolah), kelompok rohaniwan (pendidik mental), tokoh masyarakat (RT, RW, lurah dst). Sekarang kayaknya sudah tidak cocok lagi. Narkoba merebak ke mana2, ke artis, pekerja, akademisi dll. Nampaknya semua lapisan masyarakat harus dikebalkan. Peranan orang tua pada masa kini sudah luntur, kalah dengan peranan peer (kelompok sebaya, seminat). Jika dicari kementerian yang bertanggungjawab, ya semua kementerian. Koordinatornya adalah Kementerian Kesehatan Direktorat Kesehatan Jiwa bersama Badan POM. Dulu promotor UU Narkoba adalah Prof Kusumanto dari Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan.
Jika pencegahan tidak berhasil, maka pengobatan harus segera dilakukan. Korban harus didetoksifikasi di rumah sakit. Dulu ada RSKO, namun peranannya kalah dibandingkan Lembaga BNN. Korban narkoba jarang mau sukarela datang ke RSKO. Jika ke BNN itu terpaksa karena korban adalah hasil tangkapan. Terapi korban narkoba jadi amburadul. Detoksifikasi memerlukan waktu sekitar satu minggu. Sesudah itu harus direhabilitasi selama 3 bulan. Ada pesantren, ada lembaga swadaya dll yang menyelenggarakan rehabilitasi ini. Biayanya tidak sedikit. Sesudah itu harus secara berkala ketemu psikiater untuk mendapatkan terapi keluarga. Itu harus dilakukan secara berkala sampai 2 tahun. Jika selama 2 tahun (masa corridor) tidak pernah rindu (ketagihan) diperkirakan seumur hidup akan berhenti jadi penyandu narkoba. Narkoba adalah kompetensi kesehatan.
Pada tahun sekitar 1972an sebuah perusahaan obat Janssen Pharmaceutica Belgia memasarkan produknya di Indonesia. Ada beberapa produk. Salah satu produknya yang bernama Reasec mengandung Dephenoxilate HCl. Obat mencret ini dicampur dengan sulfas atropin (SA). Saya bertanya kepada Product Manager di Belgia van Tulden, mengapa dicampur dengan SA! Sudjoko, (ketika itu saya mahasiswa kedokteran), Dephenoxilate itu mirip morfin yang punya efek ketagihan. Pencampuran dengan SA, diharapkan jangan dipakai secara berlebihan atau ketagihan. Nah, jika semua Narkoba sudah diketahui antidotenya, diketahui juga SAnya, semua narkoba tidak akan sebabkan ketagihan. Orang tidak beli narkoba lagi. Penyodor kehilangan pasar. Orang tidak mencari narkoba, masalahnya selesai.
Jika polisi tidak mau selenggarakan rehabilitasi, itu bagus, karena bukan kompetensi polisi. RSKO yang bernaung di bawah kementerian kesehatan perlu diperbanyak, terutama di daerah. Polisi perlu menjaga RSKO agar tidak kemasukan penyodor gelap.***
Source: sudjokok@yahoo.co.id