24 April 2006

Waspadai Promosi Susu Formula

Dewasa ini makin banyak pilihan produk dan merek susu formula untuk bayi
berusia di bawah enam bulan. Meski begitu, sebaiknya orangtua yang memiliki
bayi pada usia tersebut harus ekstra hati-hati saat hendak memutuskan
memilih susu formula.

Sudah sangat sering diulas oleh dokter anak maupun ahli gizi anak bahwa
satu-satunya makanan terbaik untuk bayi berusia 0 hingga 6 bulan adalah air
susu ibu (ASI). Bahkan para ahli sangat menyarankan agar para ibu memberikan
ASI eksklusif atau tak memberi asupan makanan apa pun kepada bayi kecuali
ASI selama enam bulan pertama sejak bayi lahir.

"Sayangnya, pemberian ASI eksklusif ini belum jadi gaya hidup keluarga di
berbagai lapisan masyarakat. Padahal, menyusui merupakan cara terbaik dan
paling ideal dalam pemberian makanan bayi baru lahir dan bagian tak
terpisahkan dari proses reproduksi," kata Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia
DKI Jakarta (IDAI Jaya) dr Badriul Hegar SpA (K) (Kompas, 1 April 2006).

Ada berbagai macam alasan yang dikemukakan para ibu untuk tidak memberikan
ASI eksklusif, misalnya karena sang ibu bekerja sehingga tidak sempat
menyusui bayi secara teratur. "Saya sengaja memberi susu formula sejak awal,
karena nanti setelah cuti hamilnya habis kan saya enggak bisa memberi ASI
secara teratur lagi," ujar Dewi (31), pialang saham, yang baru saja
melahirkan anak pertamanya sebulan lalu.

Belum terbiasanya masyarakat memberikan ASI eksklusif kepada bayi ini
menjadi celah pemasaran yang bisa dimanfaatkan produsen susu formula. Selain
itu, para produsen juga memberi iming-iming berbagai vitamin dan zat gizi
tambahan ke dalam produk mereka, seperti DHA dan AA, yang sering diklaim
dapat membantu perkembangan otak bayi.

Ada dalam ASI

Menurut dr IG Ayu Pratiwi Surjadi SpA,MARS, anggota Satuan Tugas ASI IDAI
Jaya, DHA (docosahexaenoic acid) dan AA (arachidonic acid/asam arakidonat)
memang sangat dibutuhkan bayi, khususnya dalam dua tahun pertama
perkembangannya. "Otak manusia sebenarnya sudah terbentuk 90 persen saat
lahir. Setelah kelahiran kemudian terjadi mielinisasi dan sinaptogenesis
dalam otak," papar dokter yang akrab dipanggil Tiwi ini.

Proses mielinisasi adalah pembentukan selaput mielin atau selimut serabut
saraf yang membutuhkan laktosa atau zat gula dari susu. Sementara proses
sinaptogenesis adalah proses pembentukan susunan sistem saraf pusat yang
membutuhkan DHA dan AA.

"Namun, zat-zat tersebut baru aktif bila ada enzim yang menyertai. Laktosa
baru aktif dalam proses mielinisasi jika ada enzim laktase yang menyertai,
sementara DHA/AA baru aktif dalam sinaptogenesis saat ada enzim lipase
karena DHA/AA pada dasarnya adalah asam lemak," ungkap Tiwi.

Tiwi menambahkan, baik laktosa maupun DHA/AA hanya hadir lengkap dengan
enzim-enzimnya dalam ASI. "Susu formula jenis apa pun, semahal apa pun,
meski dibuat semirip mungkin dengan ASI, tetap saja tak ada enzimnya. Jadi,
satu-satunya nutrisi terbaik untuk bayi memang hanya ASI," katanya.

Tiwi menambahkan, akibat gencarnya promosi susu formula, banyak anggota
masyarakat yang mengira DHA/AA tak terkandung dalam ASI. "Jadi, tolong
tekankan DHA/AA yang terbaik itu justru ada di dalam ASI. Komponen apa pun
yang dipromosikan ada di dalam susu formula, semuanya sudah ada di ASI,"
kata Tiwi.

Mitos dan promosi

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir juga mengatakan,
pihaknya sama sekali tidak merekomendasikan pemberian susu formula kepada
bayi.

"Susu formula hanya diberikan dalam kondisi-kondisi tertentu yang sangat
darurat. Di luar itu, pemakaian susu formula hanya pemborosan belaka,"
tandasnya.

Husna juga mengungkapkan adanya mitos bahwa bayi sehat adalah bayi yang
gemuk. Sementara bayi yang diberi ASI eksklusif memang cenderung tidak
menjadi gemuk. "Mereka kemudian menambahkan susu formula agar bayinya gemuk.
Padahal, bayi sehat tidak harus gemuk. Itu cuma mitos," ujar Husna.

Husna mengingatkan, kondisi bayi baru lahir masih sangat rentan sehingga
harus ekstra hati-hati saat memberi zat makanan dari luar.

"Klaim-klaim dari produsen bahwa susu formulanya dapat memberi berbagai
dampak positif bagi bayi perlu dipertanyakan lebih lanjut. Misalnya,
informasi dosis atau jumlah yang tepat supaya dampak tersebut akan terjadi.
Selama ini banyak orang merasa aman apabila sudah mengonsumsi susu tersebut
karena termakan promosi," tambah Husna.

Di atas semuanya, ia juga menyarankan agar masyarakat waspada terhadap
penawaran-penawaran susu formula di tempat-tempat pelayanan kesehatan.
"Sekarang ini banyak rumah bersalin yang menawarkan susu formula kepada
orangtua bayi yang baru lahir. Itu sebenarnya melanggar kode etik," katanya.

Kode etik yang dimaksud Husna adalah Kode Internasional Pemasaran Produk
Pengganti ASI (International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes)
yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1981 lalu.

"Pemasaran produk susu formula untuk bayi berusia di bawah enam bulan
seharusnya diatur secara tegas. Kalau perlu ada pelarangan promosi susu
formula di tempat-tempat pelayanan medis resmi," ujarnya tegas.

Sumber: Kompas

16 April 2006

Virus, sistem imun dan antibiotika

Taken from: http://tonangardyanto.blogspot.com/

(Sering terlontar kalimat "itu kan virus, ngapain dokternya ngasih antibiotika" di milis. Tulisan ini berusaha memperjelas masalahnya. Maaf, terpaksa lumayan panjang semata-mata agar meminimalkan bias. Isi tulisan ini bukanlah sesuatu yang "baru" bagi para Sejawat, anggap saja ini tulisan ringan selepas kerja).

Kalau kita menganggap secara sederhana unit kehidupan terkecil adalah sel, maka sebenarnyalah si virus ini hanya "setengah hidup". Kalau bakteri memiliki perangkat lengkap DNA dan RNA, si virus hanya punya salah satu saja. Karena setengah hidup, maka antibiotika - anti terhadap yang "bio", yang hidup - tidak mempan melawan virus.

Namun, karena sifat "setengah hidup" ini pula, virus butuh sel yang hidup untuk "ditumpangi". Begitu masuk tubuh manusia, segera si virus mencari sel manusia untuk tumpangan. Setelah masuk sel, si virus akan berusaha menguasai sel tempatnya menumpang, dengan menguasai sistem di dalam sel dan menjadikannya home-base. Sebelum benar-benar menguasai sel tempatnya menumpang, virus perlu waktu, ini yang kita kenal sebagai masa inkubasi. Setelah menguasai itulah, si virus akan menimbulkan penyakit beragam bentuknya, dengan melepaskan berbagai "peluru dan meriam".

Masalahnya, setelah berhasil menguasai suatu sel kemudian menjadikannya home-base serangan, maka menjadi bumerang buat si virus. Sel yang ditumpangi itu akan mati dan pertahanan si virus menjadi terbuka. Terpaksa si virus harus beralih mencari "home-base" baru.

Sementara itu, saat tubuh manusia kemasukan si virus tamu tak diundang, tentu saja tentara penjaga tubuh tidak tinggal diam. Segera mereka membentengi diri. Ketika virus harus mencari "home-base" baru, mereka akan terhadang pertahanan tubuh.

Jadilah si virus kehilangan sumber kehidupan, dan berakhirlah riwayatnya. Karena itulah sangat dikenal paradigma: penyakit akibat virus bersifat self-limiting disease - lama-lama si virus juga mati sendiri – dan tidak perlu antibiotika.

Lha kok kemarin katanya bisa saja diberikan obat ?

Seperti disebut diatas, tentu tentara tubuh tidak akan sekedar melongo di markasnya melihat si virus merajalela. Terjadilah perang baratayudha, antara Pandawa yang berbaju putih (sel-sel darah putih) melawan Kurawa berjas hitam (Men in Black eh si virus maksudnya). Saking hebohnya pertempuran, masing-masing saling melepaskan senjata pamungkas, tubuh si anak jadi demam.

Mengapa ? Karena si kurawa ini termasuk tentara yang meski sakti, penampilan seram bak preman pasar ...mana aja deh, ketimbang disomasi .... tapi manjanya nggak ketulungan. Kalau tubuh manusia demam, dia jadi cepat lelah, nggak garang lagi. Sementara si putih, kalau terjadi demam, malah makin giat bertempur, makin giat mencetak tentara baru.

Karena itulah dipahami bahwa : kalau anak demam jangan buru-buru panik dan memberi obat. Mengapa ? Asal pertahanan memang kuat, terus suhu tubuh naik, maka virus makin cepat dikalahkan ...

Mengapa kadang diperlukan obat ?

Setiap hari, sebenarnya banyak musuh mengancam tubuh manusia, ada si virus hitam, ada si hijau bakteri (termasuk kerabatnya si parasit semacam cacing atau plasmodium biang keladi malaria).

Tetapi sebaliknya, tubuh juga punya tentara. Kita cerita soal sistem imun tubuh dulu deh. Tentara tubuh terbagi atas 3 batalyon utama: penyerang/pemukul, intelijen dan markas.

Si penyerang/pemukul ini siaga di semua lini dari pintu gerbang (kulit, selaput lendir, permukaan usus) sampai siap diterjunkan melawan musuh di segala medan dalam tubuh manusia.

Si intelijen bergerak lincah mengawasi setiap sudut, mengenali mana kawan mana lawan, memberikan informasi kepada penyerang: mana yang harus diserang, mana yang harus di-blokade, mana yang harus hati-hati tidak boleh gegabah dihancurkan.

Si batalyon markas bekerja di litbang, merancang setiap strategi serangan maupun memproduksi senjata ampuh (antibodi) berdasarkan informasi dari batalyon intelijen. Informasi setiap musuh yang pernah menyerang, disusun dalam database (sistem sel memori), agar tentara lebih siap kalau suatu saat si musuh yang sama kembali menyerang.

Nah, meski banyak si hijau (bakteri) yang setiap saat mengancam tubuh Manusia, tetapi nasibnya lain dengan virus. Kalau virus, dia bisa masuk tubuh melalui berbagai teknik kamuflase dan "kunci palsu" sehingga - lagi-lagi karena sifat setengah hidupnya tadi - tidak mudah terdeteksi oleh tentara tubuh penjaga pintu gerbang, bahkan seringkali bisa menipu mentah-mentah, licin bagai belut, cerdik bagai kancil, tidak kalah dengan jagoan kita : I am Bond, James Bond ...

Lain dengan si hijau, dasar orangnya "lugu", seragamnya norak, gaptek lagi, tentara tubuh cepat mendeteksi. Jadilah pada saat tentara segar-bugar, siap senjata, si hijau hanya bisa sekedar melakukan provokasi, sementara tentara tubuh bahkan sudah siap kalaupun harus melakukan pre-emptive strike.

Saat tubuh bertempur baratayudha, tentulah dia akan banyak kehilangan Sumber daya, konsentrasinya akan terfokus, pertahanannya akan rentan. Saat-saat seperti itulah, si hijau (bakteri) punya peluang mencari celah masuk tubuh manusia, memanfaatkan kesempatan.

Lantas gimana? Harus diberi "antibiotika"?

Bisa dibayangkan, kalau saat harus bertempur, padahal sehari-hari si tentara ini sudah kurang makan, kurang gizi, bahkan kurang personel gara-gara nggak ada bakal tentara yang memenuhi syarat (tumbuh kembang tubuh kacau).

Karena itulah, pada kondisi tertentu, diperlukan "doping" power dari luar ("obat") agar para tentara itu sanggup mempertahankan tubuh dari pertempuran melawan virus, sekaligus membentengi diri terhadap provokasi si bakteri.

Agar tidak salah dimengerti, “obat” ini bisa macam-macam, tidak selalu berarti antibiotika, tidak selalu berarti obat dari dokter. Makan sup hangat dan teh manis juga pasokan “doping” yang baik untuk membantu tubuh melawan virus.

Kapan kira-kira pasokan power dari luar ini diperlukan Faktor-faktor yang gampang dipahami : kalau pertempuran melawan virus sudah kelewat lama, analisa terhadap profil pertahanan tubuh sebelumnya mengindikasikan banyak kelemahan (sudah sering sakit-sakitan, tumbuh kembang terganggu, ada sifat alergi), atau bila tanpa disadari si bakteri sudah terlanjur menembus barikade pertahanan.

Siapa yang menilai kebutuhan pasokan dari luar ini ? Bisa dari tubuh itu sendiri yang mengibarkan bendera dan berteriak minta tolong (misalnya kejang akibat demam mendadak, panas tinggi terus menerus tanpa perbaikan, nyeri yang sangat) atau terlihat dari luar muncul tanda-tanda sudah ada penyusupan bakteri yang memperparah serangan si virus (misalnya terbentuk pus/discharge, pembengkakan, dan pemeriksaan lab tentunya). Dalam hal ini, Security Council (Doctor) lah yang akan menilainya.


Seperti banyak disampaikan: virus itu tidak ada obatnya!

Secara ringkas ini jelas salah, wong ada yang namanya "obat anti virus" (antiviral therapy) kok!

Tapi, dua-duanya perlu dipahami lebih dalam. Memang, seperti paparan sebelumnya, secara langsung virus itu sendiri tidak bisa di-mati-kan seperti antibiotika mematikan bakteri (ada memang zat yang bisa mematikan virus secara langsung seperti detergen, alkohol, formaline, tapi tentu tidak mungkin meminumnya untuk membunuh virus di dalam tubuh bukan?).

Lantas, antivirus itu untuk apa?

Untuk bisa memasuki suatu sel, perlu "kunci". Agar virus bisa masuk dengan aman, maka dia memiliki "kunci palsu" yang mirip dengan kunci asli. Dengan cara ini tentara penjaga pintu gerbang maupun barisan intelijen tidak mendeteksinya, karena dianggap "teman" sendiri. Melengganglah virus dengan santai masuk pintu di dinding sel.

Begitu masuk pintu ini, sebenarnya kebanyakan virus tetap meninggalkan jejak yang tertangkap radar barisan intelijen. Sebelum masuk sel, umumnya virus harus melepaskan bajunya (dinding/membran/envelope) dulu. Baju lepas inil yang mudah dikenali oleh tentara tubuh. Bahkan ada virus yang "jaket" (envelope) si virus ini sudah bisa menimbulkan reaksi sistem imun (misalnya HBsAg dari Hepatitis-B). Masalahnya, setelah virus terlanjur masuk sel, barisan intelijen dan batalyon pemukul bingung. Kalau akan dihancurkan sel yang ditumpangi itu masih "keluarga" tubuh sendiri.

Satu kelompok obat antivirus berusaha mencari jalan menghambat kerja virus mencari home-base ini, paling banyak dengan teknik "kompetisi" menutup celah di dinding sel yang "kunci palsu"nya sudah dipegang si virus.

Kelompok antivirus lain, berusaha mengganggu kerja virus dalam menumpang dan menguasai home-base-nya. Dalam teknik ini ada risiko memang, meski sudah diminimalkan. Kadang terpaksa sel yang menjadi home-base- ikut rusak dalam usaha menghancurkan virus yang "menyusup" ke dalamnya. Yah daripada terlanjur dikuasai virus, terus jadi home-base serangan, terpaksa mengorbankan satu sel keluarga sendiri ...

Disamping itu, ada kelompok obat antivirus yang berusaha memperingan efek penyerangan virus dengan cara menghambat kerja "peluru dan meriam" (zat-zat tertentu yang dikeluarkan si virus) penyebab sakit pada tubuh manusia.

Sejauh ini, belum ada obat antivirus yang 100% berhasil menahan/menghambat/ menghancurkan virus. TETAPI efeknya tetap signifikan dalam : memperingan efek serangan virus, meminimalkan efek sisa paska serangan dan memperingan kemungkinan penularan terhadap orang lain.

Sebagai contoh : pada Herpes zoster, pemberian Acyclocyr akan efektif bila mulai diberikan sebelum 24 jam pertama. Mengapa? Agar masih ada kesempatan untuk melawan kerja si virus, sehingga sequele (gejala sisa) bisa minimal. Kalau terlambat, virus terlanjur menguasai keadaan, maka dia akan sempat membentuk "tempat persembunyian" di pangkal pembuluh syaraf, kemudian suatu ketika kembali menyerang.

Ternyata, ada juga virus yang makin pinter. Virus hepatitis B atau HIV misalnya, bisa melakukan teknik "doormant". Begitu masuk sel, dia melihat bahwa suasana di luar sel tidak kondusif untuk melakukan serangan.

Menghadapi ini, si virus akan "sembunyi" dengan cukup menumpang saja, yang penting tidak mati, tidak ambisius menguasai sel tempatnya menumpang. Sampai suatu saat nanti, tentara pas lemah - mungkin situasi politik lagi goyah - si virus bangun dari tidurnya dan menyerang manusia. Karena itu, masa inkubasi HIV bisa bertahun-tahun, baru benar-benar menimbulkan masalah.

Bahkan, sekarang mulai banyak virus hepatitis B yang sudah mengalami mutasi. Akibatnya jaket HbsAg yang biasa dikenali tentara tubuh, bisa berubah penampilan sehingga tidak dikenal. Anti-Hbe yang seharusnya terbentuk setelah infeksi, juga bisa terhambat. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah maraknya vaksinasi massal hepatitis B. Bukan vaksinasinya yang salah, tetapi memang itulah cara virus memenuhi prinsip “survival of the fittest”.

Apakah virus itu memang kerjanya hanya bikin susah? Hmm, ternyata Tuhan memang maha bijaksana. Memanfaatkan sifatnya yang "bak James Bond", jenis virus tertentu bisa kita "titipi" zat terapetik, kemudian di-infeksikan agar memasuksi sel-sel tertentu dalam tubuh kita, sehingga zat terapetik itu ikut terbawa kesana.

Pada lapangan Gene-Therapy, si virus ini kita "rekayasa" agar memiliki sifat genetik tertentu, kemudian kita infeksikan, dia memasuki sel-sel dalam tubuh, menguasai sel tersebut, sehingga akhirnya sel tersebut berubah sifat genetiknya sesuai keinginan kita. Tentu saja, untuk ini dipilih virus-virus yang sudah "dijinakkan".

Pertanyaan berikutnya yang sering muncul: kalau tahu memang infeksi virus, mengapa dokter memberi antibiotika?

Pertanyaan “lantas kapan antibiotika selayaknya diberikan pada infeksi yang kebanyakan akibat virus” adalah hal yang sulit dijawab dengan tuntas.

Mengapa? Benar, 90 (atau bahkan 95%) penyakit saluran pernafasan pada anak-anak disebabkan virus. Benar, bahwa antibiotika bukan obat untuk virus, karena yang membunuh adalah sistem pertahanan tubuh.

Sebaliknya, benar pula bahwa infeksi virus bisa menimbulkan kerentanan. Benar bahwa karena rentan, bakteri bisa 3menumpang2 ikut menyerang. Dan jelas bakteri itu obat-nya antibiotika (tentu dengan sistem pertahanan tubuh juga).

Lantas, bagaimana kita tahu bahwa bakteri sudah menumpang? Jawaban standar: dibuktikan dengan tes laboratorium. Berapa hari pemeriksaannya ? Berapa bayarnya ? Selama menunggu itu bagaimana ? ...

Urut-urutan dasar seorang dokter menegakkan diagnosa seharusnyalah tetap melewati prosedur baku: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, baru diagnosa. Setelah diagnosa ketemu, barulah ada terapi.

Bagaimana melakukan anamnesis, melakukan pemeriksaan fisik, adalah hal-hal yang boleh dianggap “inti” dari ilmu menjadi seorang dokter. Soal penentuan/interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, bahkan soal analisis hasil pemeriksaan, kalau mau bisa dibaca ilmunya. (Ilmu kedokteran itu sebenarnya open-book, tidak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada yang namanya "jurus guru jurus cantrik").

Tetapi ketika sampai pada “melakukan dan menganalisis anamnesis, melakukan dan menganalisa pemeriksaan fisik”, disinilah faktor “the man behind the gun” akan berbicara. Dan hal inilah yang paling sulit dicapai melalui fasilitas “maya” semacam rubrik konsultasi cetak/online dan milist.

Sebagian besar kalau tidak ingin dikatakan hampir semua dokter tahu dan sadar soal “kesalahan” melakukan poli-farmasi, soal risiko resistensi antibiotika, soal virus dan banyak hal lain. Masalahnya, ketika berhadapan dengan pasien, yang ada adalah “harus membuat keputusan”.

Agar fokus, ketika berhadapan dengan pasien bayi/anak-anak dokter juga sadar bahwa “anak-anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini”, penyakitnya bisa lain, perjalanan penyakit bisa lain, respon terapinya lain, efek dan side-effect obatnya juga lain let alone soal-soal yang lebih “sederhana” semacam menghitung dosis obatnya.

Mengapa diberikan antibiotika? Mengapa tidak diperiksa laboratorium dulu? Prinsip kedokteran jelas menyebutkan: menggunakan kemampuan tertinggi untuk sebesar-besar keuntungan pasien. Saya kira, kalau memang semua data bisa didapatkan dalam waktu sesingkat mungkin, semua dokter juga senang, karena lebih mudah baginya memutuskan.

Kok dokter langsung memberikan antibiotika tanpa pemeriksaan laboratorium? Secara obyektif, akan ada 2 kelompok alasan:

Faktor medis: memang kondisi infeksinya sudah berat, untuk itu diberikan antibiotika narrow spectrum, sambil dilakukan pemeriksaan lab, untuk kemudian dilihat perkembangannya; atau dokter sudah tahu riwayat medis si pasien sebelumnya.

Faktor non medis: memang pasien tidak mampu melakukan tes laboratorium lebih dahulu, kondisi lingkungan pasien tidak mendukung bila harus menunggu pemeriksaan lab lebih dahulu (higiene dan sanitasi kurang), dan sejenisnya.

Bagaimana tahu kondisi infeksinya sudah berat? Kembali, ananmesis dan pemeriksaan fisik secara langsung hampir tak bisa tergantikan oleh pemeriksaan “jarah jauh” (sampai batas tertentu bisa dicapai dalam konsep referral and second opinion yang selayaknya).

Tanpa laboratorium, bagaimana dokter berani menentukan antibiotikanya? Ada dua hal :

Secara obyektif. Darimana kita tahu bahwa “setelah DPT anak demam ringan, membaik meski tanpa obat sekalipun”, atau bahwa “kejang demam pertama kurang dari 5 menit, hanya 30% yang akan terulang dalam 6 jam kemudian”, atau juga tahu bahwa “95% common problems pada anak-anak terjadi karena virus”? Itu semua adalah data statistik, diperoleh dari pencatatan secara berkesinambungan.

Secara statistik pula dokter mendapat informasi bahwa “penyakit X biasa disebabkan bakteri Y, yang memiliki respon terapi sekian persen baik dengan antibiotika A, tetapi resisten terhadap antibotika B”.

Secara subyektif. Keunggulan dokter ditentukan juga oleh pengalamannya, yang akan membentuk "intuisi". Dan bicara "intuisi", tentu kita paham, ini bukan soal untuk diperdebatkan "intuisinya", yang bisa dinilai hanya "hasil"nya.

Bagaimana di lapangan? Saya tidak berani memastikan, tetapi menghadapi kenyataan seperti itu di lapangan, saya kira akan ada 3 kelompok dokter:

1. Di sisi ekstrem kiri dari kurva normal akan ada sekelompok dokter yang "emang gue pikirin" pokoknya memberi obat for whatever the reason is.
2. Di sisi ekstrem kanan dari kurva normal, akan ada sekelompok dokter yang berusaha teguh memegang "teori" sambil berusaha sekuatnya mengikuti perkembangan. Yang begini ini, mohon maaf, tentu memerlukan jiwa besar dan ketegaran menghadapi "mekanisme pasar".
3. Sebagian besar dokter akan berusaha mengambil jalan tengah, melihat situasi-kondisi pasien. Tetap mengikuti teori dan perkembangannya, berusaha melakukan edukasi, tetapi juga mau melakukan kompromi (sampai batas-batas tertentu).

Ah, itu kan dokter-nya yang nyari untung? Soal untung, itu relatif, tetapi tidak perlu dipungkiri bahwa dokter juga memikirkan self-interest. Mulai soal yang relatif "kecil" semacam tidak dapat pasar karena pasien merasa tidak puas.

Sampai ke yang jauh lebih serius, seperti analogi berikut. Dokter meyakinkan bahwa "Bu ini tidak perlu antibiotika karena 95% disebabkan virus". Tetapi 2-3 hari kemudian anak tiba-tiba masuk ke kondisi shock-septic. Apakah benar bahwa dkternya tidak akan disalahkan dan bisa membela diri karena "lha saya kan ada dasar ilmunya bilang begitu"?

Iya sih, tetapi berarti itu dokternya "nggak pede" dong? Pada akhirnya ilmu kedokteran itu bukan sekedar "ilmu" tetapi juga "art". Dokter diharuskan mampu meniti tali antara simpul "teori by book" di satu ujung dengan "cost-benefit-ratio" di sisi lain. Apakah berarti dokter tidak "pede"? Bisa terjadi demikian kalau dia tidak sanggup "meniti tali ilmu dan seni" tadi, tetapi tidak akan terjadi kalau memang memiliki kemampuan profesional untuk membuat judgement.

Lho, kalau ternyata kekhawatiran dokter itu "salah" kan bisa berabe? Menghadapi ini, ada yang mengatakan : risiko obat itu jelas bisa diprediksikan, tetapi risiko penyakit sulit diperkirakan. Ibaratnya, daripada menanggung risiko kena "penyakit" masih lebih enak menanggung risiko "obat".

Apakah sesederhana itu? Tentu saja tidak. Betapa beban dokter ringan bila memang paradigma itu yang dipakai. Justru kembali ke awal tadi : how doctor he/she is ....

Terakhir, saya jujur masih termasuk kelompok dokter di "tengah-tengah kurva" tadi, esuai dengan kondisi lapangan yang waktu itu saya hadapi. Tentu, saya tetap berpegang pada teori, tetap mengikuti perkembangan. Usaha edukasi tetap saya jalankan, tetapi sampai batas tertentu, saya juga tetap melakukan kompromi. Semata-mata demi keyakinan bahwa itu semua untuk sebesar-besar keuntungan pasien.

Semoga bermanfaat.

RSS Feed (xml)
Template by : Kendhin x-template.blogspot.com