08 Mei 2008

Anak dan Jarum Suntik

Supaya anak berani dan tidak trauma terhadap jarum suntik, orangtua harus
melakukan pendekatan dari dua sisi, medis dan psikologis.

KALAU dihitung-hitung ternyata seorang bayi Indonesia rata-rata menerima sekitar
20 suntikan sampai ia berusia 2 tahunan. Biasanya anak-anak yang menderita
alergi, asma, diabetes atau penyakit serius lainnya memiliki pengalaman yang
lebih tidak mengenakkan menghadapi tenaga paramedis dan jarum suntik. Bisa
dimaklumi karena mereka pasti akan lebih sering menerima suntikan. Tidak
mengherankan jika suntikan dan jarum suntik merupakan 2 hal yang paling ditakuti
anak-anak bila mereka diharuskan berada dalam klinik, RS atau sejenisnya.

Kendati begitu orangtua harus menyadari sepenuhnya bahwa tindak pengobatan lewat
suntikan tentu bukan bertujuan untuk menyakiti atau membuat anak takut. Angka 20
untuk jumlah suntikan yang disebut di atas justru dilakukan untuk membangun
kekebalan tubuh anak terhadap penyakit tertentu dalam bentuk imunisasi. Ingat,
imunisasi adalah proses pembentukan kekebalan tubuh dengan memasukkan produk
biologis tertentu (tergantung jenis penyakit yang dicegah) ke dalam tubuh.

Imunisasi rutin pada anak terbukti secara signifikan menurunkan kejadian
penyakit infeksi di berbagai negara pada akhir abad ke-20. Atau menyelamatkan
lebih dari 3 juta jiwa anak setiap tahun atau sekitar 10 ribu jiwa per hari.
Imunisasi pun telah terbukti memberi perlindungan pada jutaan anak terhadap
berbagai penyakit dan kecacatan menetap. Perlu juga diketahui, pencegahan
penyakit infeksi pada anak dengan imunisasi merupakan salah satu keberhasilan
terbesar dalam sejarah kedokteran.

Kondisi Ideal

Idealnya, vaksin haruslah mudah pemberiannya, tidak disuntikkan (karena
menyakitkan), aman, memiliki daya lindung yang tinggi, tanpa efek samping, dan
pemberiannya bisa sekali untuk seluruh penyakit. Sayangnya, vaksin seperti ini
baru dalam tahap cita-cita.

Di mata pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin/FK UNPAD, dr.
Kusnandi Rusmil, SpA, pemberian vaksin kombinasi merupakan strategi utama untuk
menurunkan jumlah pemberian vaksin. Efeknya, jumlah suntikan pada anak akan
berkurang.

Menurut Kusnandi yang juga menjabat sebagai anggota Satgas Imunisasi PP IDAI dan
Wakil Ketua Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Jawa Barat ini, kini sudah ada jenis
vaksin kombinasi yang mengandung 7 jenis vaksin. Sementara di Indonesia baru ada
1 vaksin yang mengandung 5 jenis vaksin. "Dengan vaksin ini yang tadinya anak
perlu 9 kali suntikan, sekarang cuma butuh 3 kali suntikan." Dengan demikian
anak tidak lagi harus menerima 20 kali suntikan.

Di Indonesia, pemberian vaksin diutamakan bagi anak hingga usia 2 tahun. Yakni
vaksin terhadap penyakit yang sering menyebabkan kecacatan dan kematian pada
anak di bawah usia 2 tahun. Di antaranya BCG untuk penyakit TBC; Polio untuk
penyakit polio; DPT untuk penyakit dipteri, pertusis dan tetanus; Hepatitis B
untuk penyakit hepatitis B; Campak untuk penyakit campak; HiB untuk mencegah
penyakit yang disebabkan Haemophilus influenza (yang umumnya menyerang otak dan
saluran pernapasan anak yang berusia kurang dari 6 tahun, tapi terbanyak pada
anak usia di bawah 1 tahun); MMR untuk parotitis/gondongan dan rubela; serta
Pneumokokus untuk Invasive Pneumococcal Diseases (IPD) yang menyerang saluran
pernapasan dan otak.

Hampir semua vaksin tersebut diberikan dengan cara suntik. Mengapa? Pertimbangan
awalnya, vaksin cepat masuk dalam sirkulasi darah dan jaringan limfa. Di sinilah
diharapkan muncul reaksi dengan sel darah putih jenis limfosit untuk menimbulkan
zat antibodi. Meski ada beberapa jenis imunisasi yang tidak disuntikkan, yakni
imunisasi polio dan tifus. Untuk bayi biasanya dalam bentuk cairan, sedangkan
untuk anak yang lebih besar dalam bentuk kapsul. Sayangnya, jelas Kusnandi, ada
banyak kendala bila diberikan melalui mulut. Salah satunya vaksin akan
dihancurkan oleh enzim pencernaan di perut, disamping kekebalan yang terbentuk
pun tidak optimal.

Di lain pihak, suntik menimbulkan dampak merugikan, yakni rasa nyeri atau
bengkak di tempat suntikan, dan naiknya suhu tubuh. Hal ini terjadi karena jarum
suntiknya sendiri maupun sebagai reaksi tubuh terhadap zat-zat yang terkandung
dalam vaksin. "Tapi jangan khawatir. Semua vaksin yang beredar telah dilakukan
uji klinis yang ketat. Sehingga reaksi imunisasi jauh lebih ringan dibandingkan
bila kena penyakit itu sendiri," ujar Kusnandi.

Kendati tidak bisa dipungkiri, beberapa suntikan tertentu, terutama imunisasi,
menyebabkan terjadinya efek samping yang sifatnya ringan dan temporer. Apabila
khawatir anak mengalami reaksi serius terhadap suntikan imunisasi tertentu,
hubungi dokter secepatnya atau cari bantuan darurat. Itulah mengapa wajar sekali
anak takut disuntik meski sesungguhnya hal tersebut dapat dihindari dengan
mempergunakan jarum tertentu untuk meminimalkan rasa sakit.

Bersikap Realistis

Mendapatkan jarum khusus, mungkin agak sulit. Kecuali di kota-kota besar dan di
RS ternama. Akan tetapi bukan berarti orangtua lantas pasrah begitu saja
menyaksikan anak kesakitan dan akhirnya trauma. Menurut Erfianne Cicilia, Psi.,
orangtua masih bisa melakukan upaya agar anaknya tetap mau disuntik tanpa
disertai pemaksaan berlebih sehingga tidak menimbulkan efek traumatis.

Sederhananya, kata psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia
(LPT UI), ketakutan pada jarum suntik lebih dilatarbelakangi pada pengetahuan
yang bersangkutan tentang jarum suntik yang selalu diasosiasikan sebagai benda
tajam yang menyakitkan. Padahal yang bersangkutan bisa lebih tenang kalau mau
lebih realistis bahwa jarum suntik itu relatif kecil sehingga tidak mungkin
sampai melukai. Dengan kata lain, kesakitan karena jarum suntik tersebut lebih
pada sakit secara psikologis.

Pada anak tentu saja orangtua belum bisa menyampaikan penjelasan logis ini.
Kecuali pada anak yang duduk di bangku SD kelas 4 ke atas. Berikut sejumlah kiat
dari Fifi guna memperkecil ketakutan dan trauma anak terhadap jarum suntik:

* Bayi

Menyuntik biasanya jauh lebih mudah karena si kecil masih dalam kendali
orangtua. Artinya, bayi dapat digendong dengan posisi yang nyaman untuk
disuntik. Secara psikologis orangtua dapat memeluk dan mendekap bayi dengan
tenang agar bayi juga merasa relaks.

* Batita

Pada batita yang perkembangan bahasa dan komunikasinya belum lancar, memang jauh
lebih sulit memberi pengertian tentang suntikan. Yang dapat dilakukan orangtua
adalah memberi ketenangan menjelang disuntik agar saat disuntik si batita tidak
terlalu tegang. Sambil alat dan obat suntik disiapkan, orangtua bisa mengajak
anaknya ngobrol tentang hal-hal yang membuatnya merasa senang dan nyaman. Sambil
terus memegang tangannya agar ia merasa terlindungi.

* Prasekolah

Anak usia ini adalah anak yang tahap perkembangan kognitifnya jauh lebih baik.
Artinya, ia mulai menyadari dan memahami apa arti ke dokter dan mengapa ia harus
disuntik. Anak telah menguasai komunikasi cukup baik. Jadi, ada baiknya beri
tahu kalau ia akan diajak ke dokter dan kemungkinkan disuntik. Ungkapkan bahwa
ibu/ayah mengerti kalau suntikan memang agak sakit. Namun katakan itu perlu
dilakukan supaya ia cepat sehat, bisa bermain dan jalan-jalan lagi, sambil
dipeluk dan tenangkan.

Usai disuntik, berikan pujian bahwa ia adalah anak pemberani. Gali lebih jauh
dengan menanyakan apa yang dirasakan dan bagaimana pengalamannya saat itu. Jika
pengalaman tersebut memang kurang menyenangkan, sampaikan pengalaman serupa dari
ibu/ayah atau anak lain.

* Usia sekolah

Anak usia sekolah pastilah anak yang memiliki pengetahuan dan wawasan jauh lebih
luas dibanding batita dan prasekolah. Oleh sebab itu, tentu tidak terlalu sulit
untuk menjelaskan tentang alasan kenapa ia harus disuntik. Sebaiknya jelaskan
secara logis kepada anak agar ia memahami betul betapa pentingnya ia disuntik.
Setelah disuntik, tetaplah memberikan pujian pada anak agar ia merasa kerja sama
dan keberaniannya dihargai oleh orangtua.

Efek Suntikan

Walau dari sisi medis suntikan banyak efek positifnya, tapi dari sisi psikogis
suntikan mempunyai efek negatif. Menurut Fifi, efek psikologis disuntik bisa
terlihat jelas pada anak yang agak besar. Tepatnya di usia 3 tahunan sampai usia
sekolah karena di usia tersebut anak mulai mengekspresikan ketakutannya secara
verbal dan perilaku. Sedangkan pada bayi, ekspresi ini biasanya tidak terlalu
terlihat nyata karena kita belum berkomunikasi secera efektif dengannya.

Seperti telah disebut di atas, efek psikologis dari pengalaman disuntik
merupa-kan ketakutan berlebih. Ketakutan berlebih ini biasanya diakibatkan oleh
pengalaman pertama berhadapan dengan suntik yang tidak menyenangkan. Sangat
mungkin saat pertama kali harus disuntik, mental anak belum disiapkan atau ia
sama sekali belum mendapatkan penjelasan bahwa ia akan disuntik. Ketika itu bisa
saja anak sebetulnya marah berlebihan pada orangtua yang dianggap "tidak
melindungi" dia dari kesakitan disuntik. Bisa juga akibat perlakuan tenaga
paramedis yang hanya mengejar "target" harus cepat selesai menjalankan tugasnya
menangani pasien namun jadi dirasa kurang bersahabat. Buntut-buntutnya anak jadi
merasa sangat terpaksa dan beban ini kemudian membuat rasa sakitnya jadi lebih
terasa.

Pengalaman pertama yang sangat tidak mengenakkan tadi tentu akan membuat anak
mengambil kesimpulan bahwa suntik identik dengan sakit. Generalisasi semacam
inilah yang ujung-ujungnya membuat anak terus-menerus merasa takut pada jarum
suntik. Bisa juga semata-mata karena pandangan bahwa jarum suntik adalah benda
tajam yang menakutkan. Jadi, dalam hal ini bukan sakit suntikannya tapi karena
takut pada jarum suntik.

Mau Tidak Mau Harus Dihadapi

Fifi maklum bila ada saja orangtua yang berusaha menghindarkan anaknya dari
suntikan. Mereka pasti memiliki alasan tertentu. Bisa jadi takut anaknya
menangis sedemikian rupa sampai tak terkendali, khawatir buah hatinya mengalami
trauma dan sebagainya. Kekhawatiran semacam ini wajar saja, namun orangtua pun
perlu menyadari diri sampai kapan ia mampu mengendalikan anaknya untuk tidak
disuntik. Suatu saat suntikan pasti sangat dibutuhkan pada kondisi kesehatan
tertentu. Mau tidak mau orangtua dituntut untuk mengalahkan segala
kekhawatirannya sekaligus tetap harus mempersiapkan anaknya melewati momen ini.

Penulis : Gazali Solahuddin
Sumber : Tabloid Nakita

RSS Feed (xml)
Template by : Kendhin x-template.blogspot.com