24 September 2015

Risiko Kesehatan Pada Proses Penyembelihan Hewan

Pak Haji Anas tetangga saya sehari-hari pedagang kain di Tanah Abang. Setiap mau lebaran haji, pak Anas selalu mengasah pisaunya yang sepanjang kepala sapi dewasa. Tajamnya bukan alang-kepalang. Sepotong kertas jika dibelah dengan pisau itu segera terbelah dua tanpa robek. Selembar rambut langsung putus. Kata pak Haji pisau itu hanya dipakai untuk menyembelih korban. Selesai sholat, sapi yang mau jadi korban dicancang di bawah pohon belimbing yang sejuk. Konon agar sapi tidak stress. Sebuah lubang digali di tanah. Selembar dua lembar daun pisang utuh disiapkan. Tiba bagian yang paling sulit. Merobohkan sapi. Jika sapi stress psoses ini teramat sulit. Bila sapi bisa mengamuk. Proses penyembelihan sapi tidak boleh membuat sapi tersiksa.

Mulut dan tanduk diikat. Kedua mata sapi ditutup. Kedua kaki depan diikat, demikian juga dengan kaki belakang. (di RPH sapi bisa dipingsankan dengan proses stunning). Sapi maju ditarik sampai roboh, jatuh mengenai jerami yang sudah disiapkan sebelumnya. Ikatan kaki diperkuat. Leher sapi ditaruh di atas papan yang menutupi lubang yang tadi digali. Ada yang menarik ekor. Kaki jagal menginjak bahu sapi.Selanjutnya sesudah dibacakan doa, leher sapi digorok dengan pisau dengan sekali tebas. Sapi ngorok dan darah mancur. Daun pisang dan tangan telanjang tanpa sarung tangan menahan darah.

Proses penyembelihan hewan termasuk dalam mata rantai pengolahan makanan. Mulai dari sejak hewan diternakkan sampai ke meja makan, HACCP. Pak Anas termasuk penjamah makanan. Dia tak pernah diperiksa kesehatannya. Tak ada yang tahu apa dia lagi mencret. Apa di bokongnya ada bisul bernanah. Apa dia sakit kuning hepatitis A. Mengidap penyakit tipes, tinjanya mengadung kuman tipes tapi dia tidak sakit. Sebelum memotong hewan tak jelas dia sudah cuci tangan atau belum. Yang pasti dia tidak menggunakan sarung tangan.

Semua itu bisa menjadi biang kerok keracunan makanan. Saya pernah kebagian hewan kurban. Itu dibolehkan karena saya ikut iuran bayar harga sapi kurban. Biasa bikin sate. Tentu saja matangnya tak merata. Mujur saya tidak sakit. Jika jagalnya mengidap bisul, saya bisa mencret karena ketularan kuman stafilokokkus.

Tak ada dokter hewan yang memeriksa hewan kurban. Di Rumah Pemotongan Hewan ada dokter hewan yang memeriksa penyakit hewan. Itu yang sering terjadi dan mudah dideteksi saja. Tidak pernah diperiksa apakah hewan itu mengidap Hepatitis B misalnya. Virus ini ditularkan lewat darah. Jagal potensi tertular, karena tangannya dipakai untuk menahan darah dari leher hewan. Ada sedikit luka saja dia bisa ketularan.

Pada tahun 2013 jagal di kota Abeokuta Nigeria diperiksa kesehatannya. Ternyata 17% mengidap Hepatitis B, 4.9% brucella, 2.5% treponema (sifilis penyakit kelamin), 2.5% hepatitis C. Aneh bin ajaib kayaknya di seluruh dunia jagal ini tidak diberi alat pelindung diri. Paling banter dikasih apron saja. Saya belum tahu bagaimana di Indonesia dampak pekerjaan pemotongan hewan itu terhadap para jagal. Abbatoir ini belum masuk dalam data base occupational hazards ILO. Pada pemotongan babi ada pernah dilaporkan penyakit meningitis streptococcus suis. Ternyata kuman ini bisa juga menular ke sapi. Wah jika demikian pak Anas punya risiko juga untuk ketularan penyakit. Saya bisa mengerti mengapa Gubernur DKI menganjurkan pemotongan korban di RPH.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengenai pemotongan hewan (biasa dan korban) nampaknya perlu dilengkapi dengan persyaratan kesehatan hewan dan kesehatan pekerja pemotongan. Kesehatan pekerja bermata dua, kesehatan karyawan yang bisa menular ke daging dan dampaknya daging ke kesehatan pekerja.

Keracunan makanan bisa terjadi dimana-mana. Di warteg, hotel mewah yang mahal, kawinan, kantin perusahaan dst. Sampai kini belum pernah ada laporan keracunan makanan sesudah makan sate daging hewan korban. Namun demikian jika ada suatu saran yang lebih baik perlu dipertimbangkan.


Source: sudjokok@yahoo.co.id

RSS Feed (xml)
Template by : Kendhin x-template.blogspot.com