Pak Haji Anas
tetangga saya sehari-hari pedagang kain di Tanah Abang. Setiap mau lebaran
haji, pak Anas selalu mengasah pisaunya yang sepanjang kepala sapi dewasa.
Tajamnya bukan alang-kepalang. Sepotong kertas jika dibelah dengan pisau itu
segera terbelah dua tanpa robek. Selembar rambut langsung putus. Kata pak Haji
pisau itu hanya dipakai untuk menyembelih korban. Selesai sholat, sapi yang mau
jadi korban dicancang di bawah pohon belimbing yang sejuk. Konon agar sapi
tidak stress. Sebuah lubang digali di tanah. Selembar dua lembar daun pisang
utuh disiapkan. Tiba bagian yang paling sulit. Merobohkan sapi. Jika sapi
stress psoses ini teramat sulit. Bila sapi bisa mengamuk. Proses penyembelihan
sapi tidak boleh membuat sapi tersiksa.
Mulut dan tanduk diikat. Kedua mata sapi ditutup. Kedua kaki depan diikat,
demikian juga dengan kaki belakang. (di RPH sapi bisa dipingsankan dengan
proses stunning). Sapi maju ditarik sampai roboh, jatuh mengenai jerami yang
sudah disiapkan sebelumnya. Ikatan kaki diperkuat. Leher sapi ditaruh di atas
papan yang menutupi lubang yang tadi digali. Ada yang menarik ekor. Kaki jagal
menginjak bahu sapi.Selanjutnya sesudah dibacakan doa, leher sapi digorok
dengan pisau dengan sekali tebas. Sapi ngorok dan darah mancur. Daun pisang dan
tangan telanjang tanpa sarung tangan menahan darah.
Proses penyembelihan hewan termasuk dalam mata rantai pengolahan makanan. Mulai
dari sejak hewan diternakkan sampai ke meja makan, HACCP. Pak Anas termasuk
penjamah makanan. Dia tak pernah diperiksa kesehatannya. Tak ada yang tahu apa
dia lagi mencret. Apa di bokongnya ada bisul bernanah. Apa dia sakit kuning
hepatitis A. Mengidap penyakit tipes, tinjanya mengadung kuman tipes tapi dia
tidak sakit. Sebelum memotong hewan tak jelas dia sudah cuci tangan atau belum.
Yang pasti dia tidak menggunakan sarung tangan.
Semua itu bisa menjadi biang kerok keracunan makanan. Saya pernah kebagian
hewan kurban. Itu dibolehkan karena saya ikut iuran bayar harga sapi kurban.
Biasa bikin sate. Tentu saja matangnya tak merata. Mujur saya tidak sakit. Jika
jagalnya mengidap bisul, saya bisa mencret karena ketularan kuman
stafilokokkus.
Tak ada dokter hewan yang memeriksa hewan kurban. Di Rumah Pemotongan Hewan ada
dokter hewan yang memeriksa penyakit hewan. Itu yang sering terjadi dan mudah
dideteksi saja. Tidak pernah diperiksa apakah hewan itu mengidap Hepatitis B
misalnya. Virus ini ditularkan lewat darah. Jagal potensi tertular, karena
tangannya dipakai untuk menahan darah dari leher hewan. Ada sedikit luka saja
dia bisa ketularan.
Pada tahun 2013 jagal di kota Abeokuta Nigeria diperiksa kesehatannya. Ternyata
17% mengidap Hepatitis B, 4.9% brucella, 2.5% treponema (sifilis penyakit
kelamin), 2.5% hepatitis C. Aneh bin ajaib kayaknya di seluruh dunia jagal ini
tidak diberi alat pelindung diri. Paling banter dikasih apron saja. Saya belum
tahu bagaimana di Indonesia dampak pekerjaan pemotongan hewan itu terhadap para
jagal. Abbatoir ini belum masuk dalam data base occupational hazards ILO. Pada pemotongan
babi ada pernah dilaporkan penyakit meningitis streptococcus suis. Ternyata
kuman ini bisa juga menular ke sapi. Wah jika demikian pak Anas punya risiko
juga untuk ketularan penyakit. Saya bisa mengerti mengapa Gubernur DKI
menganjurkan pemotongan korban di RPH.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengenai pemotongan hewan (biasa dan korban)
nampaknya perlu dilengkapi dengan persyaratan kesehatan hewan dan kesehatan
pekerja pemotongan. Kesehatan pekerja bermata dua, kesehatan karyawan yang bisa
menular ke daging dan dampaknya daging ke kesehatan pekerja.
Keracunan makanan bisa terjadi dimana-mana. Di warteg, hotel mewah yang mahal,
kawinan, kantin perusahaan dst. Sampai kini belum pernah ada laporan keracunan
makanan sesudah makan sate daging hewan korban. Namun demikian jika ada suatu
saran yang lebih baik perlu dipertimbangkan.
Source: sudjokok@yahoo.co.id
24 September 2015
Langganan:
Postingan (Atom)